SELAMAT DATANG DI GALAKSIKU

Rabu, 22 Januari 2014

Will U Marry Me?



     Siang itu, seorang wanita bertamu di rumahku. Setelah berbasa-basi sekitar lima menit, ia menceritakan mksudnya menemuiku. Aku tersentak, tak percaya.
     “Harus sekarang? Saya belum siap.”
     “Lihat saja dulu orangnya. Kakakku memang ada janji bertemu dia di pesantren, nanti kita di mobil saja melihatnya. Mau ya?” wajahnya memelas. Aku tidak bisa menolak meski sebenarnya aku benar-benar belum siap. “Siap-siap sana. Aku tunggu.”
     “Aku begini saja deh”
     “Serius?” Pandangannya seperti memindai penampilanku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Jaket tebal besar merah, rok kain hitam, disempurnakan dengan jilbab pasang hitam. “Kau tidak ingin sedikit memoles penampilanmu?” Mungkin pikirnya aku seperti tukang ojek wanita yang sering mangkal di perumahan.

      Perjalanan kami sekitar sepuluh menit, mobil jeep hitam akhirnya terparkir di depan sebuah pesantren. Lelaki yang mengendarai mobil ini turun menghampiri seorang lelaki. Entah percakapan apa yang terjadi di antara mereka. Aku dan wanita di sampingku berebut ingin melihat lelaki misterius itu.
       “Pengen pipis.” Ucapku tiba-tiba.
       “Kamu grogi yah.” Wanita itu tertawa. “Tapi, toilet terdekat hanya di….”
         
       Belum sempat wanita itu menyelesaikan perkataannya, aku sudah ada di dekat lelaki misterius itu, “Maaf, toilet dimana?” Ia hanya menanggapi senyum “Pak, pak… T-O-I-L-E-T.” aku menegaskan. Hei sebegitu terpananyakah ia melihat diriku. Responnya dari tadi hanya nyengir kuda. Ini serius, pengen pipis…

       Aku terbangun, untung toiletku ada di dalam kamar
       Cuma mimpi euy. 
       Tapi, berhasil membuatku berpikir sejenak di dalam WC, wajah lelaki misterius itu kenapa cepat sekali kulupa. Padahal seharusnya itu jadi kasus misteri keduaku. Mencari cowok misterius *mata memicing.
       Hei, jamnya Conan dimana?

Surat Pertama



     Tok… Tok… Tok…

     “Assalamu`alaikum,” sapa suara dari luar.
     “Wa`alaikum salam,” jawabku dari dalam. Aku bergegas mengenakan rok dan cardigan. Kostum ‘seragam tidur’ berbalut jilbab merah tak ‘sepantas’nya untuk menjamu tamu ini.

     Seorang lelaki tanpa wajah, datang dengan sepucuk surat di tangannya.

    Maaf, Galang. Aku tidak tahu mensketsa ‘wajahmu’. Hingga kupilih kau tak berupa saja. Aku memang lebih suka berteman dengan lelaki yang tak ber’wajah’. Itu menghijabi hatiku. Meski sebenrnya, aku sudah jatuh cinta pada lakumu, kebijaksanaanmu. Maaf ya, Pi. Aku menghianatimu. (Ahhai de’)

    “Mmh, bagaimana perjalananmu?” tanyaku padanya ketika melihat sepeda ontel yang ia parkir manis di depan rumah. Benda itu menarik perhatian semua tetanggaku.
    “Lumayan melelahkan. Rumahmu jauh juga. Tapi, menikmasti senja yang gerimis sepertinya akan menjadi hobi baruku”
    “Kau. Bolehkah aku meminta satu hal.”
    “Bisakah kau berbeda dengan Pi, wanita selalu merepotkan.”
    “Begitukah?” Aku tertawa. “Hanya ingin meminta izin menulis namamu dalam novelku.”
    “Wani piro!” ucapanya menyodorkan tangan.
   “Untuk sementara tanda tangan dulu ya.” Aku mengeluarkan pulpen dan menandatangani telapak tangannya.
   “Nanti jika sudah terkenal, kau tak perlu payah-payah mengejarku hanya untuk tanda tangan.” Aku menyengir lebar melihatnya menatap tangannya yang kugambari domba.
    “Kau jelmaan domba?”
    “Sana pulang. Pi nanti mencarimu.” Aku mendorongnya keluar rumah. Aku ingin segera membaca surat di tanganku ini.
    “Baiklah penulis belum terkenal. Terima kasih atas tanda tangannya. Wassalamu`alaikm.”

   Tak perlu menunggunya menghilang dari pandanganku, aku segera mengambil posisi terbaik untuk membaca surat. Aku lebih senang membaca surat seperti ini. Kau tahu, Pi. Saat kecil, aku suka menunggu tukang pos lewat depan rumahku. Meski tak pernah membawa surat untukku, melihat lelaki bermotor orange dengan dua punuk surat di sadelnya membuatku bahagia sepanjang hari. Aku hanya suka.

  
    Aku berhati-hati membuka amplopnya. Khawatir kau membuatnya dengan usaha keras. Merobeknya sama dengan tak menghargai usahamu.

    Huruf demi huruf kueja satu persatu. Rangkaian kata yang terbaca karena adanya jeda dan tanda baca memburamkan mataku. Aku yakin dengan ungkapan klasik itu, tulisan yang dibuat dengan hati sampainya juga pada hati. Kau berhasil memanggil sisi melankolisku, yang sebenarnya ingin aku kubur dari dulu.

    Aku menangguhkan surat itu, menutupnya rapat. Kupilih menghapus banjir di pelupuk mataku. Banjir cukup saja menggenangi ibukota. Akan aku lnjutkan malam nanti, aku ingin memperlihatkannya pada pasukan bintang: akhir-akhir ini mereka jarang terlihat.

Kau tahu, Pi. Mengapa aku ingin mengubur melankolisku, juga terpikir mengubah plagmathisku?
Aku selalu melihat dunia dengan ‘kegembiraan’ orang-orang sanguins. Mereka bisa berteman dengan siapa saja, berbicara apa saja. Mereka diterima. Ah, aku sebenarnya tak suka berbicara ini. Sama saja membeberkan rahasia pemimpin galaksi ini. Pasukan bintang akan bersedih, lagi-lagi melihat pemimpinnya berurai air mata. Selama ini mereka terlalu banyak kurepotkan untuk membantuku menghalau sepi.
Ah, lagi-lagi mata buram. Aku tak percaya ini, kukira aku bukan gadis cengeng lagi.
Kupikir memang seharusnya ini bukan masalah, toh setiap orang punya krakternya sendiri. Seperti sebuah frase basi ‘Just Be You’. Sayangnya frase itu mengekangku, aku hanya belum menemukan ‘You’ yang seperti apa aku. Aku megumpulkan banyak bahan, membaca berbagai literatur, mencoba segala bentuk tes. Semuanya sama, bijaknya aku harus menerima semua itu apa adanya. Entah apa yang kulakukan saat SMP-SMA dulu, kenapa baru sekarang mencari jati diri?

Hmm, kau suka misteri kan? Kucukupkan sampai disini dulu ya. Mari bermain detektif-detektifan. Aku berteman akrab dengan Shinichi Kudo, *psst, sebenarnya aku juga diam-diam menyukainya.
Ini akan jadi kasus misteri pertamaku. Kau ingat ungakapan populernya With a keen eye for details, only one truth prevails! 

Mari kita singkap misteri ini. *mata memicing.
Hei, aku ingin sekali punya jam tangan seperti milik Conan.

Sabtu, 04 Januari 2014




Kuterus berlari entah mengejar apa.
Melewati ratusan persimpangan.
Namun, tak jua berhenti.

Aku terus berjalan entah untuk apa.
Berkejaran melintasi waktu
Sayangnya, mentari mulai menumpahkan cahaya jingganya

Aku akan pulang
Berbalik mengitari jalan yang sama
Di GALAKSI ini hanya ada AKU, JURNAL MERAH MAROON, dan PASUKAN BINTANG
Jika kau punya 'sesuatu' untuk dibagi
Datanglah, bertamulah dengan 'sopan'
Karena aku tidak 'sembarangan mempercayai' orang untuk masuk ke galaksiku

Jumat, 03 Januari 2014

Atas Nama 'B'

Hai, 'B'
Kau di mana sekarang?
Akhir-akhir ini aku sulit menemuimu
Padahal seharusnya kau selalu disampingku

Hai, 'B'
Aku lupa bagaimana rupamu
Meski kucoba menggali memoriku
Aku justru mendapatimu semakin samar

Hai, 'B'
Apa kau sudah lupa mengunjungiku?
Bukankah setiap orang punya caranya memilikimu
Tapi, aku lupa cara memanggilmu

Anak-anak bilang bermain sepuasnya, bertemu banyak teman, berlari tanpa batas, tertawalah
Kau akan menemui 'B'
Sederhana saja

Aku sudah besar, 'B' -seharusnya begitu-
Semuanya tidak sesederhana dulu lagi
Terlalu rumit hanya untuk mendefinisikan dirimu, 'B'
Bermain sepuasnya
Menemui banyak orang
Berlari tanpa batas
Tertawa
Aku harus selalu 'mengikuti' aturan

Padahal, 'B'
Aku merindukanmu
Aku rindu saat engkau diam-diam mengisi rongga dadaku, melepas semua penat menghembuskannya bebas ke udara. Aku rindu saat engkau hadir meluruhkan semua kekhawatiran. Saat dimana tapak kaki ini bebas menginjak tanah tanpa takut kotor. Berlari tanpa cemas kelelahan.

Gandeng tanganku, 'B'
Aku membutuhkanmu
Hidupku terlalu rumit untuk kumengerti