Kamis, 14 Agustus 2014
Sepanjang perjalanan menuju ke
sekolah, mulutku komat-kamit. Entah untuk melafalkan kembali apa yang
akan pertama kali kuucapkan untuk memberikan kesan pertama yang spesial,
entah untuk memanjatkan deretan-deretan doa, entah untuk sekedar
menenangkan hati dengan dendangan tidak jelas. Tapi, aku sangat gugup.
Tentu saja.
Beberapa
pengalaman mengajarku kujalani sebagai seorang yang sebagaimana
biasanya. Ramah, murah senyum, penuh 'kebijaksanaan', dan tentu saja
'friendly'.
Tapi, sejak pertama memutuskan untuk
kembali mengajar. Aku ingin mencoba menjadi kebalikan dari semua sikap
itu. Tampang 'sangar', jarang senyum, lengkap dengan tatapan 'menusuk'.
Aku
tidak sedang mencari wibawa, rasa hormat, dan penghargaan. Karena akan
sangat lelah mengejar tiga predikat itu. Aku hanya tidak ingin
'disepelekan' oleh siswa, yang akhirnya bisa membuat mereka 'tak
mendengar' omongan gurunya.
Terserah, apa sangkaan para
siswa. Terserah, apa yang akan timbul nantinya di kepala mereka. Segala
dugaan mereka adalah tanggung jawab mereka. Saya hanya sedang berusaha
menjadi guru.
Kelas pertama kumasuki dengan
sikap dingin seorang Nia. Dan kurasa itu cukup berhasil membuat mereka
'mendengar' ucapanku. Kelengkapan sikap dingin ini menjadi sempurna saat
sorot pandanganku menusuk tajam pada siswa yang 'sulit ditegur' lewat
ucapan. Itu benar. Saat ada siswa yang membuat ribut, atau berkeliaran
tidak jelas ke penjuru kelas, tatapan ini yang akan membuat
teman-temannya menegur 'tersangka' ini.
Aku sedang
tidak bermaksud 'kejam' pada mereka. Tentu tidak. Untuk apa kulahap
berbagai buku, mengunyah film-film, berselancar di berbagai situs, jika
bukan untuk meningkatkan kualitas diri. Entah berapa tetes air mata yang
akhirnya terpaksa berderai saat kuingat kisah lampau, betapa tidak
pantasnya aku disebut alumni pendidikan, betapa tidak pantasnya aku
bercita-cita menjadi guru. Sejak rasa sadarku akan ketidakpantasan
tersebut, aku masih terus berharap, berdoa, berusaha untuk bisa benar-benar pantas. Tapi tidak mudah.
Seorang guru, bagiku.
Adalah
pendidik. Dan mendidik bukan hanya tentang materi ajar, menyelesaikan
standar kompetensi dari pemerintah. Lahir bathin siswa adalah tanggung
jawab guru. Didikan guru akan berpengaruh pada diri siswa.
Finally, aku masih harus belajar mencintai profesi ini.
**********
Special moment for this week :
Aku belum hafal nama-nama mereka. But I am exicted. Mereka menghargai -meskipun tak kuminta- keberadaanku. Bahkan seorang siswa -ah, namanya siapa, entah- berbisik -yang bisikannya bisa ku dengar- bahwa pelajaran ini akan seru. I hope so.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar