Aku masih merasakan
keberadaan dirimu.
Tapi, saat kesadaran
membangunkanku. Kau memang sudah tak disini.
Senin, 10 Muharram
Masih
lekat dalam ingatan saat dirimu membagi berlembar-lembar rupiah untuk kami.
Saat kutanya untuk apa, “Membeli pulsa” katamu. Meski diam, kau sepertinya tahu
handphoneku tak pernah awet berteman
pulsa. Aku bahkan tak sempat menyalami tanganmu senja itu. Saat niat mudik kau
lakukan dengan angkutan umum, bukan dengan sepeda motor seperti lalu-lalu
kebiasaanmu.
Selasa, 11 Muharram
Kami
tiba dua jam lebih cepat. Menunggu di koridor UGD RS. Wahidin Sudirohusodo. Berharap,
berdoa. Semoga semuanya baik-baik saja. Pukul 00.00 sirine memekakan telinga,
silih berganti datang dan pergi. Itu bukan dirimu. Yang datang justru sebuah
mobil biasa, tanpa tulisan. Aku tak berani mendekat. Kau pasti tahu,
akhir-akhir ini diriku terlalu melankolis. Dengan tubuhmu terbaring lemah,
nafas yang berat, juga sebuah infus yang tergantung, melihatnya menyekat
kerongkonganku. Sudah. Sedetik saja, aku bahkan tidak bisa menyertaimu masuk
UGD, tungkai kaki ini tak kuat menopang tubuhku, rasanya seluruh organ tubuhku
bergetar. Aku hanya masuk untuk mengantarkan beberapa kerabat melihat
keadaanmu, aku tak bisa kuat bertahan lama melihat kondisimu seperti itu.
Rabu, 12 Muharram
Lebih
dari dua puluh tiga tahun, kau membersamaiku. Di waktu yang sangat lama itu,
aku mengetahui bahwa kau lelaki yang kuat. Lalu, rasanya tak percaya saat
melihatmu terbaring lemah dengan bantuan oksigen, infus, dan beberapa selang
lainnya yang entah membuatmu nyaman atau tidak. Nafas yang begitu berat, terlihat
jelas dari perut dan dadamu yang terlampau tinggi naik turun. Ranjang pun ikut
bergerak saat nafasmu naik turun. Saat kucoba beberapa menit melakukan hal yang
sama denganmu, aku tak mampu. Sementara dirimu, sejak tiba di tempat ini hingga
malam ini setidaknya sudah 48 jam kau merasakan itu. Kurasa itulah sebenar-benarnya
sabar.
Kamis, 13 Muharram
Beberapa
luka di kepala, suhu tubuh yang tinggi, leher terkilir, bahu cedera, beberapa
ruas tulang belakang bergeser, nafas berat naik turun, kedua telapak tangan tak
sanggup menggenggam, dada hingga ujung kaki mati rasa, kesemua itu tidak
menjadi penghalang untuk menggugurkan kewajibanmu. Dengan gerakan seadanya, kau
tayammum dan melaksanakan shalat lima waktu. Dua kali operasi di sekitar tulang
rusukmu, membuatku makin tidak sanggup. Untuk menyelesaikan satu ayat saja,
saat tilawah di dekatmu aku tak mampu. Aku yang melihatnya saja begitu berat.
Bagaimana kau yang menjalaninya? Kurasa itulah sebenar-benarnya sabar.
Malam
sedang ditemani purnamanya rembulan. Aku yang terbiasa tidur pukul 21.00 tak
lagi memperdulikan malam-malam larut dengan mata terjaga. Sekedar membasuh
tubuhmu dengan air yang suhunya kian lama kian meninggi, tilawah di dekat
telingamu agar memberi rasa tenang di hatimu, mengambilkan seteguk air minum
pelepas dehidrasimu, bolak-balik mengambil obat atau memanggil dokter. Kesemua
hal sederhana itu pastilah tak sebanding dengan penjagaanmu. Lelaki yang siap
kapan saja untuk mengantar atau menjemputku. Entah di saat malam yang terlalu
larut sepulang mengajar bimbel atau rapat organisasi, pun di saat kendaraan
terlalu pagi untuk berlalu lalang hanya untuk mengantarku di beberapa ujian,
kuliah, maupun praktikum. Lelaki yang di dalam tasnya dipenuhi berlembar-lembar
iklan lowongan kerja. Kau mengkhawatirkanku dengan diammu, dengan sabarmu,
dengan caramu.
Jum`at, 14 Muharram
Para
dokter sibuk dengan alat-alat dan istilah-istilah medisnya. Pukul 04.30, kau
sudah tak mampu merespon. Matamu tertutup, nafasmu masih berat, suhu tubuh 41
derajat, tekanan darah 170/90. Sebuah alat pendeteksi detak jantung telah
terpasang, mama dipanggil untuk berdiskusi dengan dokter. Semua sibuk. Aku
tetap disampingmu, menghabiskan matsurahku di dekat telingamu. Suaraku timbul
tenggelam, bersama tetes-tetes air mata yang berlomba keluar dari kantungnya. Beberapa
kali alat pendeteksi jantung itu bersuara seperti sirine, memberikan tanda
bahwa keadaanmu kian memburuk. Beberapa kristal bening keluar dari pelupuk
matamu, aku menyekanya. Bacaanku kini beralih mentalqinmu. Semua kerabat telah datang
menemani. Aku bergantian dengan dua adikku mentalqinmu. Kami, masih bertahan,
masih ingin berharap, setelah semua air mata yang mengelilingimu, kuharap esok
kita akan pulang dengan bendera kemenangan, sebuah senyum. Yah, kita telah
melalui semua ini. Bukankah kau selalu mengatakan bahwa ‘Sengguhnya sesudah kesulitan ada
kemudahan. Sesudah kesulitan ada kemudahan.’
Ranjangmu didorong cepat ke sebuah ruangan, katanya
akan dipasangkan sebuah alat agar nafasmu bisa tertolong. Aku tak bisa berada
di ruangan itu. Aku melepasmu. Jum`at, 14 Muharram pukul 11.20, medis RS
Wahidin telah mencatatnya, kau telah pulang, benar-benar pulang, dengan sebuah
sunggingan senyum. Tangis yang sudah kutahan bermalam-malam akhirnya pecah.
Tersungkur duduk di depan ruangan. Lagi, aku belum berani masuk ke ruangan itu
melihatmu. Rasanya baru kemarin, kau mengantarku ikut ujian CPNS berharap agar
aku bisa menggantikanmu mencari nafkah. Kini kau dipanggil mendahului kami
semua yang berdiri mengelilingimu.
Kupandangi satu-satu dari mereka, kulihat mama
tersungkur jatuh di lantai diikuti adikku yang paling kecil di dekatnya, adikku
yang kedua di dekatmu, aku ikut berdiri di dekatmu, mencium keningmu sambil
menahan isakku. Aku kini seorang yatim. Allahum magfirlahu warhamhu wa`afihi
wa`fu anhu. Semoga engkau di tempatkan di antara orang-orang yang beriman.
Malam ini, 29 Muharram
pukul 22.00.
Tahukah
kau, di sekolah tadi dua orang siswa kuhukum berdiri di depan kelas karena
kelakukannya melempar coppeng dari luar jendela kepada siswa di dalam kelas,
kelas yang sedang kuajar. Aku tidak tahu bagaimana menasehati mereka, setiap
kuberikan pengarahan mereka membalas dengan seribu kata-kata. Akhirnya ledak
amarahku, mataku berkaca-kaca. Bukan, bukan karena marah. Tapi, lebih karena
rindu. Jika saja kau masih ada di sekolah itu, aku bisa menceritakan ini,
berdiskusi menemukan solusi, atau sekedar mendengarkanku. Tapi, aku sendiri.
Sudahlah,
cinta Allah jauh lebih baik untukmu. Cinta kami hanya sampai pada doa yang
terkirim pada-Nya. Tapi, cinta-Nya mencakup penjagaan untukmu dunia akhirat. Meskipun
terkadang saat rindu bertalu-talu, lalu kau jumpai kami menitikkan air mata.
Maka sampaikan pada Sang Pemilik Nyawa ini, semoga kita bisa berkumpul dengan
orang-orang yang selalu mencintai-Nya. Kami mengikhlaskanmu