SELAMAT DATANG DI GALAKSIKU

Sabtu, 22 November 2014

Sebuah Cinta yang Melebihi Cinta Kami



Aku masih merasakan keberadaan dirimu.
Tapi, saat kesadaran membangunkanku. Kau memang sudah tak disini.

Senin, 10 Muharram
Masih lekat dalam ingatan saat dirimu membagi berlembar-lembar rupiah untuk kami. Saat kutanya untuk apa, “Membeli pulsa” katamu. Meski diam, kau sepertinya tahu handphoneku tak pernah awet berteman pulsa. Aku bahkan tak sempat menyalami tanganmu senja itu. Saat niat mudik kau lakukan dengan angkutan umum, bukan dengan sepeda motor seperti lalu-lalu kebiasaanmu.

Selasa, 11 Muharram
Kami tiba dua jam lebih cepat. Menunggu di koridor UGD RS. Wahidin Sudirohusodo. Berharap, berdoa. Semoga semuanya baik-baik saja. Pukul 00.00 sirine memekakan telinga, silih berganti datang dan pergi. Itu bukan dirimu. Yang datang justru sebuah mobil biasa, tanpa tulisan. Aku tak berani mendekat. Kau pasti tahu, akhir-akhir ini diriku terlalu melankolis. Dengan tubuhmu terbaring lemah, nafas yang berat, juga sebuah infus yang tergantung, melihatnya menyekat kerongkonganku. Sudah. Sedetik saja, aku bahkan tidak bisa menyertaimu masuk UGD, tungkai kaki ini tak kuat menopang tubuhku, rasanya seluruh organ tubuhku bergetar. Aku hanya masuk untuk mengantarkan beberapa kerabat melihat keadaanmu, aku tak bisa kuat bertahan lama melihat kondisimu seperti itu.

Rabu, 12 Muharram
Lebih dari dua puluh tiga tahun, kau membersamaiku. Di waktu yang sangat lama itu, aku mengetahui bahwa kau lelaki yang kuat. Lalu, rasanya tak percaya saat melihatmu terbaring lemah dengan bantuan oksigen, infus, dan beberapa selang lainnya yang entah membuatmu nyaman atau tidak. Nafas yang begitu berat, terlihat jelas dari perut dan dadamu yang terlampau tinggi naik turun. Ranjang pun ikut bergerak saat nafasmu naik turun. Saat kucoba beberapa menit melakukan hal yang sama denganmu, aku tak mampu. Sementara dirimu, sejak tiba di tempat ini hingga malam ini setidaknya sudah 48 jam kau merasakan itu. Kurasa itulah sebenar-benarnya sabar.

Kamis, 13 Muharram
Beberapa luka di kepala, suhu tubuh yang tinggi, leher terkilir, bahu cedera, beberapa ruas tulang belakang bergeser, nafas berat naik turun, kedua telapak tangan tak sanggup menggenggam, dada hingga ujung kaki mati rasa, kesemua itu tidak menjadi penghalang untuk menggugurkan kewajibanmu. Dengan gerakan seadanya, kau tayammum dan melaksanakan shalat lima waktu. Dua kali operasi di sekitar tulang rusukmu, membuatku makin tidak sanggup. Untuk menyelesaikan satu ayat saja, saat tilawah di dekatmu aku tak mampu. Aku yang melihatnya saja begitu berat. Bagaimana kau yang menjalaninya? Kurasa itulah sebenar-benarnya sabar.
Malam sedang ditemani purnamanya rembulan. Aku yang terbiasa tidur pukul 21.00 tak lagi memperdulikan malam-malam larut dengan mata terjaga. Sekedar membasuh tubuhmu dengan air yang suhunya kian lama kian meninggi, tilawah di dekat telingamu agar memberi rasa tenang di hatimu, mengambilkan seteguk air minum pelepas dehidrasimu, bolak-balik mengambil obat atau memanggil dokter. Kesemua hal sederhana itu pastilah tak sebanding dengan penjagaanmu. Lelaki yang siap kapan saja untuk mengantar atau menjemputku. Entah di saat malam yang terlalu larut sepulang mengajar bimbel atau rapat organisasi, pun di saat kendaraan terlalu pagi untuk berlalu lalang hanya untuk mengantarku di beberapa ujian, kuliah, maupun praktikum. Lelaki yang di dalam tasnya dipenuhi berlembar-lembar iklan lowongan kerja. Kau mengkhawatirkanku dengan diammu, dengan sabarmu, dengan caramu.

Jum`at, 14 Muharram
Para dokter sibuk dengan alat-alat dan istilah-istilah medisnya. Pukul 04.30, kau sudah tak mampu merespon. Matamu tertutup, nafasmu masih berat, suhu tubuh 41 derajat, tekanan darah 170/90. Sebuah alat pendeteksi detak jantung telah terpasang, mama dipanggil untuk berdiskusi dengan dokter. Semua sibuk. Aku tetap disampingmu, menghabiskan matsurahku di dekat telingamu. Suaraku timbul tenggelam, bersama tetes-tetes air mata yang berlomba keluar dari kantungnya. Beberapa kali alat pendeteksi jantung itu bersuara seperti sirine, memberikan tanda bahwa keadaanmu kian memburuk. Beberapa kristal bening keluar dari pelupuk matamu, aku menyekanya. Bacaanku kini beralih mentalqinmu. Semua kerabat telah datang menemani. Aku bergantian dengan dua adikku mentalqinmu. Kami, masih bertahan, masih ingin berharap, setelah semua air mata yang mengelilingimu, kuharap esok kita akan pulang dengan bendera kemenangan, sebuah senyum. Yah, kita telah melalui semua ini. Bukankah kau selalu mengatakan  bahwa ‘Sengguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan. Sesudah kesulitan ada kemudahan.’
               Ranjangmu didorong cepat ke sebuah ruangan, katanya akan dipasangkan sebuah alat agar nafasmu bisa tertolong. Aku tak bisa berada di ruangan itu. Aku melepasmu. Jum`at, 14 Muharram pukul 11.20, medis RS Wahidin telah mencatatnya, kau telah pulang, benar-benar pulang, dengan sebuah sunggingan senyum. Tangis yang sudah kutahan bermalam-malam akhirnya pecah. Tersungkur duduk di depan ruangan. Lagi, aku belum berani masuk ke ruangan itu melihatmu. Rasanya baru kemarin, kau mengantarku ikut ujian CPNS berharap agar aku bisa menggantikanmu mencari nafkah. Kini kau dipanggil mendahului kami semua yang berdiri mengelilingimu.
               Kupandangi satu-satu dari mereka, kulihat mama tersungkur jatuh di lantai diikuti adikku yang paling kecil di dekatnya, adikku yang kedua di dekatmu, aku ikut berdiri di dekatmu, mencium keningmu sambil menahan isakku. Aku kini seorang yatim. Allahum magfirlahu warhamhu wa`afihi wa`fu anhu. Semoga engkau di tempatkan di antara orang-orang yang beriman.

Malam ini, 29 Muharram pukul 22.00.
Tahukah kau, di sekolah tadi dua orang siswa kuhukum berdiri di depan kelas karena kelakukannya melempar coppeng dari luar jendela kepada siswa di dalam kelas, kelas yang sedang kuajar. Aku tidak tahu bagaimana menasehati mereka, setiap kuberikan pengarahan mereka membalas dengan seribu kata-kata. Akhirnya ledak amarahku, mataku berkaca-kaca. Bukan, bukan karena marah. Tapi, lebih karena rindu. Jika saja kau masih ada di sekolah itu, aku bisa menceritakan ini, berdiskusi menemukan solusi, atau sekedar mendengarkanku. Tapi, aku sendiri.
Sudahlah, cinta Allah jauh lebih baik untukmu. Cinta kami hanya sampai pada doa yang terkirim pada-Nya. Tapi, cinta-Nya mencakup penjagaan untukmu dunia akhirat. Meskipun terkadang saat rindu bertalu-talu, lalu kau jumpai kami menitikkan air mata. Maka sampaikan pada Sang Pemilik Nyawa ini, semoga kita bisa berkumpul dengan orang-orang yang selalu mencintai-Nya. Kami mengikhlaskanmu